Bekerja Tanpa Hati


Hallo readers,

Malam ini aku mau cerita tentang pengalamanku bekerja di tempat yang bener bener menurut aku “neraka” ketika justru tempat itu jadi “surga” bagi banyak orang lain.

https://www.julie-hill.com/80-blog-the-work-of-julie-hill/2015/04/07/without-heart-its-just-a-machine
Langsung aja yaww.
Bulan oktober 2017, aku melamar pekerjaan di sebuah perusahaan textile besar di Yogyakarta. Test yang aku lalui mulai dari psikotes, interview bahasa inggris dengan HRD, dan interview dengan manajer aku nantinya dan CEO yang dua duanya orang India.
Sulitnya mendapatkan pekerjaan, membuatku nekat untuk melamar kerja di pabrik itu. Pabrik itu letaknya tidak begitu jauh dari rumahku, jadi untuk biaya transportasi dapat ditekan. Aku tau akan banyak beban yang dipikul oleh keluargaku ketika aku berkerja di pabrik, terutama beban mental. Karena seperti yang kalian tau, aku kuliah dengan biaya yang tidak bisa dibilang sedikit, dan orang tua pasti merasa bahwa nilai yang aku dapatkan akan sangat sia-sia apabila aku bekerja di pabrik.
Begitu diterima di pabrik, aku sangat bahagia. Tapi juga beban karena gajiku hanya 2.100.000 belum dipotong asuransi. Posisiku juga posisi strategis, namun sangat berbeda dengan background pendidikanku. Aku kuliah di jurusan manajemen bisnis telekomunikasi dan informatika, sedangkan kerja disana aku harus belajar mulai dari jenis benang, tebal benang, jenis kain, model baju, dan lain-lain yang benar-benar aku merasa bukan passionku banget.
Dua minggu pertama adalah masa dimana karyawan baru harus bertemu dengan kepala-kepala divisi untuk mendapatkan ilmu sebanyak-banyaknya tentang bidang mereka. Kita sebut saja itu aktivitas “IU”. Dalam satu hari, kami berkunjung ke 2 divisi, dimana 1 divisi hanya membutuhkan waktu palig lama 2 jam. Sistemnya kayak tanya jawab gitu lo, kayak seminar, tapi kita yang jalan ke ruangannya, tidak disediakan ruangan khusus.
Aku kerja dari jam 8 pagi sampai 6 sore, tapi ketika masih “IU”, kami diperbolehkan pulang jam 4. Pasti fun sih kalau dalam 8 jam itu bisa produktif, sayangnya 8 jam itu gabut. Cuma 2 jam IU, setelah itu kami kembali ke ruangan dimana kami ditempatkan nantinya. Di ruangan itu, karyawan sangat sibuk, bahkan untuk saling sapa saja terkesan tidak ada waktu. Dan aku memiliki satu “pembimbing” dimana kerjaan dia juga ga kalah ribet dari kerjaan yang lain. Gaada pekerjaan yang bisa aku bantu disana, karena ketika pembimbingku atau karyawan lain aku tanya apa yang bisa aku bantu, mereka tidak memiliki pekerjaan untuk aku bantu karena memang aku belum menguasai bidang itu.
Pada jam-jam pulang, aku justru sibuk. Sibuk membantu packing, merapikan lemari, bahkan menggunting kain. Jadi, aku tidak bisa pulang jam 4, pernah aku sampai pulang jam 8 malam. Karyawan disana, dengan gaji yang sama, rata-rata pulang diatas jam 8 bahkan hingga jam 10 malam. Dan disana tidak ada gaji lembur.
Kegabutanku berlangsung sangat lama, sampai pernah suatu ketika aku dibentak oleh Manajerku (Orang India) karena aku ketauan Cuma main HP, ga kerja. Hari berikutnya aku dipanggil ke ruangannya, lalu aku menangis. Aku merasa semua ini bukan bidangku, aku melakukan hal-hal yang dilakukan oleh seorang OB. Lalu manajerku dengan bijaknya berkata, “kamu jangan pernah menyepelekan pekerjaan-pekerjaan kecil”. Disitulah aku merasa tertampar dengan kata-katanya. Bagaimana bisa aku menginginkan pekerjaan penting ketika pekerjaan kecil saja aku mengeluh.
Hari berikutnya manajer menyuruhku mengikuti sebuah pelatihan sistem IT baru di perusahaan. Aku sangat senang. Manajerku benar-benar bijak. Dia pantas mendapatkan piala wise manager.
Tapi hal itu tidak serta-merta membuatku nyaman. Setiap berangkat kerja, aku tidak bersemangat. Masuk ke lobby pabrik, aku merasa dadaku sesak, tertekan, tidak nyaman, takut berbuat kesalahan, takut dibentak didepan puluhan orang lagi, takut terlihat gabut. Aku sudah melakukan berbagai kegiatan agar aku nggak gabut, tapi tetep aja, gabut banget.
Benar-benar di pabrik aku tertekan, depresi, stress. HRD mengatakan padaku “kamu disini jangan kerja pakai hati”. Disitu aku menemukan kejanggalan. Bagaimana bisa kita bekerja tanpa hati? Sedangkan semua hal harus dilakukan dengan penuh integritas dan ikhlas. Bagaimana bisa bekerja tanpa hati ketika kita berhubungan dengan banyak orang?. Tapi memang aku akui, disana (di divisiku) orang-orangnya tempramental, emosian, menutup telfon saja dengan membanting. Berbicara dengan orang lain dengan mimik wajah yang tidak menggembirakan. Dan itu berlangsung setiap saat, hampir all the day.
Itu bukan aku banget, aku yang terbiasa dengan lingkungan yang sangat sayang denganku, lembut, ramah, lalu aku harus menyesuaikan diri dengan lingkungan yang 360 derajat beda. Aku merasa aku tidak sanggup beradaptasi di lingungan ini. Hingga akhirnya aku memutuskan keluar dari pabrik setelah gajian (November 2017). HRD bertanya padaku alasanku resign, dan aku mengatakan sebenarnya. Alhamdulillah sekarang aku sudah mendapatkan yang memang pas dengan porsiku saat ini. Alhamdulillah.
Pabrik ini menjadi surga bagi para buruh yang benar-benar membutuhkan pekerjaan, tapi menjadi neraka bagi orang yang sejak awal tidak bisa menemukan “feel” seperti aku.

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top