My Safety, My First Priority

Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan.’ #SafetyFirst Diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Hoda Motor dan Nulisbuku.com



My Safety, My First Priority
Alhamdulillah, pagi ini Bandung cerah. Sudah beberapa bulan tidak hujan, padahal aku merindukan hujan. Merindukan tawa hujan ketika ia turun dengan deras, merindukan senandung hujan ketika ia menjadi gerimis untuk membuatku tertidur lelap. Hujan yang kurindukan, kapan datang? Meskipun hujan tak juga datang, aku tetap semangat untuk tetap beraktivitas meskipun dibawah teriknya matahari. Aku tidak ingin bercerita tentang hujan hari ini,tapi aku ingin menceritakan sesuatu.
Aku mempersiapkan segala sesuatu untuk aktivitasku hari ini. Memasak, mandi, sarapan, lalu berangkat ke kampus bersama Elsy. Setiap pagi Elsy menjemputku karena memang rumah kami berdekatan dan kami satu kelas. Aku bergegas mengambil helm ketika Elsy datang. Jam sudah menunjukkan pukul 7. Kami akan terlambat kalau tidak segera berangkat.
“Tali helmmu belum kamu pasang tuh El, pasang dulu.” Kataku sambil naik ke motornya.
“Nggak usah, cuma sampai situ doang kok.” Jawabnya. Kampus kami berjarak kurang lebih hanya 500 meter dari rumah. Kami tinggal di perumahan, dan jalan di depan perumahan adalah jalan raya yang besar dan padat setiap pagi. Sehingga kami harus menggunakan helm karena selalu ada polisi. Selalu ada polisi.
Kuliah hari itu berjalan dengan lancar, tanpa tugas dari dosen, tanpa kuis dadakan, dan pastinya tanpa ngantuk karena kuliah hari ini diisi dengan presentasi mahasiswa, sehingga kami dapat aktif bertanya, tidak hanya mendengarkan ceramah dosen.
Hari berikutnya Elsy mengajakku ke Bank. Jarak Bank dari rumah kami sekitar 1 km. Aku kaget ketika dia datang tanpa menggunakan helm.
“Nggak bawa helm, El?” tanyaku.
“Nggak usah, cuma sampai situ kok, lagian kan ini udah agak siangan, udah nggak ada polisi.”
Aku mengambil helm ku lalu memakainya. Elsy pun menatapku aneh.
“Kamu pakai helm?”
“Iya El, untuk keselamatan” jawabku
“Tapi kan nggak ada polisi, Yas” bantahnya
“Iya, El, ada atau tidaknya polisi, ini untuk keselamatan kita sendiri.” Tukasku.
“Aneh dong kalau kamu bonceng di belakang pakai helm.” Kata Elsy.
“Yaudah, mau aku pinjemin helm?”
“Nggak usah, Yas, kamu yang depan aja, aku bonceng di belakang.” Jawab Elsy.
Aku lalu menyalakan mesin lalu berangkat. Ternyata keberuntungan tidak berpihak pada Elsy, di jalan raya terdapat beberapa polisi yang sedang mengatur lalu lintas karena kondisi jalan yang padat dan macet.
“Aduh, gimana nih El, mau balik ngambil helm dulu nggak?” tanyaku pada Elsy.
“Nggak usah Yas, nanti nyempil-nyempil aja biar nggak kelihatan sama polisi.”
Aku lalu mengikuti petunjuknya, nyempil sana, nyempil sini.
“Aduh.” Teriak Elsy.
“Ada apa El?” Tanyaku kaget dan panik.
“Aku dijitak polisi Yas, rese banget deh polisinya.”
Mendengar jawabannya, aku terkekeh. “Salah sendiri nggak mau pakai helm” kataku dalam hati. Kemacetan yang terjadi cukup panjang, namun aku tidak melihat polisi lagi saat ini. Tiba-tiba aku mendengar seseorang berbadan besar berlari ‘brug’ ‘brug’ ‘brug’ seperti sedang mengejar sesuatu. Lalu motorku goyang dan mesinnya mati. Polisi mematikan mesin motorku. Aku kaget. Lalu polisi meminta kami untuk menepi.
Setelah menepi polisi itu mengatakan pada kami bahwa kami kena tilang karena Elsy tidak menggunakan helm. Raut muka Elsy terlihat kesal dan muram. Karena ini kesalahannya, dia wajib membayar denda. Setelah denda di bayarkan, kami tidak diijinkan oleh polisi untuk meneruskan perjalanan. Kami disuruh pulang. Betapa buruk perasaan Elsy saat itu. Ketika dia hendak pergi ke Bank untuk mengambil uang, dia terkena jitakan polisi dan kehilangan uang untuk membayar denda.
Sesampainya di rumahku Elsy hanya diam. Tanpa berkata apa-apa dia langsung pulang. Aku tau apa yang dirasakan Elsy. Setidaknya aku dulu pernah mengalaminya.
Keesokan harinya Elsy berkata padaku bahwa dia akan absen kuliah hari ini karena dia masih badmood. Akhirnya aku memutuskan untuk berangkat bersama Listya hari ini.
“Tumben Yas, Elsy kemana?” Tanya Listya.
“Elsy badmood Lis, dia kemarin habis kena jitak polisi.” Kataku sambil terkekeh. Listya pun ikut terkekeh mendengar ceritaku.
Setelah pulang kuliah sebenarnya aku ingin pulang jalan kaki saja, karena Listya ingin menemui temannya di asrama kampus. Aku tidak ingin merepotkannya, tapi Listya memaksa. Akhirnya aku mengiyakan tawarannya.
Jalan menuju ke asrama kampus cukup rumit. Terlalu banyak jalan searah dan padatnya mahasiswa yang lalu-lalang.
“Loh Lis, kok kita lewat sini. Ini kan jalan searah. Itu ada tanda dilarang masuknya. Nanti kalau ada motor atau mobil dari arah sana bagaimana?” tanyaku panik.
“Tenang aja Yas, kan ada temennya. Tuh lihat depan kita juga ngelanggar.” Ungkapnya.
“Tapi berbahaya Lis, ayo kita balik aja, aku takut.”
“Hahahahahaha, takut apa sih Yas, nggak bakal dijitak polisi kok.” Jawab Listya santai.
Akhirnya aku diam. Dan kami sampai di asrama kampus tanpa kendala. Ketika aku hendak turun dari motor, tiba tiba sebuah motor berhenti disamping kami. Ternyata dia adalah satpam kampus.
“Maaf Neng, tadi Neng lewat jalan satu arah ya? Itu namanya ngelanggar peraturan Neng. Kan udah ada petunjuknya di ujung jalan kalau dilarang masuk, jalan satu arah, kok Neng tetep nerobos.” Kata Satpam.
Listya mencoba menghindar dari semua tuduhan, memberikan alasan ini itu, hingga akhirnya dia kehabisan kata-kata, menyerah, menerima sanksi dari kampus berupa denda dan penyitaan kendaraan selama 10 hari sesuai peraturan yang berlaku di kampus kami. Listya terus menerus memaki-maki satpam itu bahkan sampai kami selesai menemui temannya. Dia terlihat sangat kesal.
Itulah cerita dari dua orang temanku yang memiliki hobi sama, yaitu ‘ngeles’ terhadap peraturan. Aku bukanlah orang yang 100% tunduk pada peraturan, terlebih peraturan lalu lintas. Akan tetapi, ketika aku tau bahwa itu untuk kebaikanku sendiri, keselamatanku, aku akan memenuhinya. Kami cukup beruntung hanya mendapat teguran dan sanksi, sedangkan banyak masyarakat yang rela mengorbankan diri di jalan karena melanggar lalu lintas.
Satu lagi ceritaku tentang lalu lintas, waktu itu aku sedang dalam perjalanan menggunakan mobil dari Bantul menuju ke Solo bersama Bapak. Bapak adalah sosok yang tenang dan santai, dan masalah peraturan lalu lintas beliau pun santai.
“Pak, lampu lalu lintasnya bentar lagi merah, kayaknya nanti kalau kita sampai di depan lampunya udah merah, mending jangan ngebut-ngebut, pelan-pelan aja.” Kataku, namun Bapak justru menekan pedal gas sehingga mobil melaju kencang menerobos lampu merah.
“Pak, kan lampunya merah, kok jalan?” tanyaku agak kesal.
Melu ngarepe (ngikut kendaraan di depan)” jawab Bapak santai. Tentunya alasan Bapak cukup konyol. Beliau sering sekali menerobos lalu lintas dengan alasan yang sama, melu ngarepe. Mungkin alasan lain Bapak adalah karena tidak mau menunggu lama di depan lampu lalu lintas, tapi hal ini cukup ekstrem karena yang dipertaruhkan adalah nyawa.
Aku diam memendam kesal. Hampir setiap saat Bapak seperti ini, santai saat melanggar lalu lintas. Begitu pula lampu merah berikutnya.
Melu ngarepe.” Beliau berkata sebelum aku sempat bertanya. Beliau melihat muka kesalku sambil tertawa kecil. Aku mengeraskan suara radio untuk menutupi rasa kesalku. Ketika aku mulai menikmati lagu, ada dua motor polisi yang meminta kami untuk menepi. Aku yakin kalian mengerti apa yang polisi itu lakukan.
Aku bingung ingin sedih atau tertawa. Tapi kalau tidak seperti ini, Bapak pasti akan terus-menerus melakukan hal yang sama. Menganggap bahwa hal yang beliau lakukan adalah hal kecil yang tanpa risiko. Karena aku cukup hafal dengan bahasa tilang polisi, maka aku memutuskan untuk menikmati musik sambil bersiul di dalam mobil.
Mungkin kadang kita malu untuk menggunakan helm ketika kita hanya pergi 500 meter jaraknya dari rumah. Mungkin kita malas mengenakan seatbelt ketika kita hanya ingin membeli bensin mobil. Mungkin pula kita malas untuk mengambil jalan yang panjang dan memilih jalan yang pendek namun terlarang. Namun sebenarnya untuk apa peraturan-peraturan itu dibuat? Untuk keselamatan kita sendiri. Demi ketertiban masyarakat kita. Bila kita menempatkan keselamatan sebagai prioritas, tentunya tidak ada alasan lagi untuk melanggar lalu lintas.

Aku sangat beruntung memiliki pengalaman-pengalaman ini. Pengalaman yang membuatku sadar bahwa keselamatan itu penting, keselamatan itu perlu, dan keselamatan adalah sebuah kebutuhan. Ayo berubah, motivasi yang lain untuk berubah, sadarkan bahwa keselamatan adalah prioritas, sadarkan bahwa dengan menaati peraturan semua akan aman. Tidak ada kata rugi dalam menaati sebuah peraturan. 

CONVERSATION

0 komentar:

Posting Komentar

Back
to top