Kisah Cinta Gadis Muda

Cempaka - Kenanga

http://antologicerpenfebriyanti.blogspot.co.id/

Pada suatu pagi yang berkabut dan tenang, duduk dua gadis desa di pinggir sawah. Mereka saling melempar senyum dan menggenggam tangan satu sama lain. Mereka adalah seorang sahabat yang telah terpisah 15 tahun lamanya. Cempaka harus pergi meninggalkan desa untuk transmigrasi bersama keluarganya, sedangkan Kenanga, hidup damai di desa tempat ia lahir.
"Cempaka, kenapa kau belum terlihat mempunyai seorang kekasih? Sedangkan aku akan menikah pada bulan Besar yang akan datang."
"Kenanga, aku tidak ingin jatuh cinta."
"Mengapa Cempaka? Jatuh cinta merupakan anugerah Tuhan, rasanya sangat bahagia, tenang, nyaman, indah sekali Cempaka, kau harus merasakannya" kata Kenanga penuh dengan semangat.
"Aku pernah jatuh cinta, Kenanga."
"Lalu kenapa kau tidak ingin merasakannya kembali? Apakah kau masih mencintai pemuda yang pernah kau cintai itu?"
"Tidak, Kenanga. Aku tidak lagi mencintainya."
"Lalu kenapa Cempaka? Kau harus menceritakannya padaku."
"Dia adalah seorang pemuda dari sebuah desa yang mashur Kenanga, keluarganya sangat kaya, sedangkan aku hanya gadis transmigran dari desa miskin."
Cempaka tertunduk dan terdiam, Kenanga duduk mendekat dan memeluk Cempaka. Dengan suara terisak, Cempaka melanjutkan ceritanya.
"Aku sangat mencintainya, dia adalah cinta pertamaku. Namun, ketika rasa cinta itu sedang membuncah, dia meninggalkanku tanpa alasan yang jelas Kenanga. Semenjak saat itu aku melihat siapa diriku yang memang tidak pantas untuk seorang pemuda yang tampan lagi kaya seperti dia. Secara perlahan dan menyakitkan, aku mengikhlaskannya, aku melepaskannya begitu saja."
"Lalu apakah sekarang kau menyesal Cempaka?"
Cempaka tersenyum manis pada Kenanga. Kenanga yang awalnya sangat bingung, berubah menyunggingkan senyum termanisnya pada sahabatnya itu.
"Tidak, Kenanga. Awalnya aku menyesal. Namun kini aku sadar bahwa itu yang terbaik. Dia bukan pemuda yang pantas mendapatkanku. Dia pemuda yang hanya pantas untuk gadis-gadis lain, bukan untukku. Semakin aku merelakannya, aku semakin bersyukur bahwa aku telah melakukannya. Aku mendapatkan banyak hidayah setelahnya, Kenanga."
Mereka berdua kembali tersenyum dan memeluk satu sama lain.
"Lalu kenapa kau tidak mau jatuh cinta Cempaka?"
"Aku tidak ingin jatuh cinta bila itu mencintai orang yang salah, Kenanga. Aku ingin mencintai jodohku saja. Yang telah dipilihkan Tuhan untukku. Yang mencintaiku karena Rabbku, yang mencintai keluargaku dan keluarganya, yang rela lillahitaala untuk menafkahiku, yang tidak memandang fisikku maupun hartaku."
"Cempaka, tidak ada pemuda yang sesempurna itu. Semua pasti memiliki cela."
"Aku tahu Kenanga, oleh karenanya aku menyerahkan semuanya pada Abah dan Ummi. Ridha Rabbku ada pada mereka."
"Cempaka apakah luka yang kau rasakan pada pemuda itu terlalu dalam?"
"Tidak, Kenanga. Luka itu sudah terobati meskipun berbekas, Ini bukan lagi tentang pemuda itu. Ini tentang jodohku.
Aku ingin mendapatkan yang terbaik Kenanga, tanpa harus sakit hati. Kalau Rabbku menghendaki, aku ingin jatuh cinta sekali saja pada pemuda yang memang tertakdir untukku, kepada pemuda yang takkan mengecewakanku dan mengusahakan kebahagiaanku."
"Lalu dengan pemuda yang meminangmu, Cempaka? Apakah kau akan menolaknya?"
"Aku ingin mengetahui seberapa jauh niatnya, Kenanga. Apakah dia memang benar-benar ingin memperjuangkanku, atau hanya ingin memilikiku saja. Aku butuh keyakinan, dan sampai saat ini dia belum meyakinkanku. Aku ingin memilihnya, Kenanga, tapi Rabbku belum memberi tanda padaku."
"Cempaka, apakah karena harta kau berfikir panjang untuk menerimanya?"
"Tidak, Kenanga, bila karena harta aku sudah mengejar cinta pertamaku. Ini bukan pemikiran panjang pada seseorang, Kenanga, tapi ini adalah pemikiran untuk setiap pemuda yang meminang.
Akhlaq adalah sesuatu yang tidak terlihat secara kasat mata, Kenanga. Aku ingin mendapatkan jodoh dari akhlaqnya, itulah kenapa pemikiran itu penting."
"Lalu apa kata kepala desa kita Cempaka? Beliau akan mengira kau mempermainkan pinangan pemuda itu dengan mengulur-ulur waktu tanpa memberikan jawaban hingga mungkin akan menimbulkan perang dengan desa pemuda itu."
"Tidak, Kenanga, atas izin Rabbku semoga itu tidak akan terjadi. Abah telah membicarakannya dengan para sesepuh desa, dan mereka mengerti.
Kenanga, aku menikmati perasaanku, perasaan yang tidak dapat ku bohongi bahwa aku mengagumi pemuda itu. Namun aku tidak ingin berharap, karena aku menyerahkan harapanku setinggi-tingginya pada Rabbku. Berharap pada manusia sangat menyesakkan, Kenanga, dan aku tidak ingin mengulangnya kembali."
Pembicaraan dua sahabat itu berakhir dengan berkumandangnya suara panggilan ibadah dari surau. Ketika bulan Besar datang, Kenanga menikah dengan pemuda pilihannya. Sedangkan Cempaka ............... (to be continued)





Bandung, 13 Juli 2016


CONVERSATION

2 komentar:

Back
to top